Kategori: Bahasan Utama, Fiqh dan Muamalah, Ramadhan
Di
negeri kita berbeda dengan di negara lainnya yang rakyat begitu
bersabar mendengar keputusan pemerintah atau mufti mereka dalam
penentuan awal Ramadhan dan hari raya. Di negeri kita memang terkenal
bebas. Semua ormas dan orang awam sekalipun bisa angkat bicara dan
mengumumkan kapankah kita mesti berpuasa dan berhari raya. Padahal yang
jadi
sunnah Rasul dan
dipraktekkan para sahabat, ketika salah seorang di antara mereka melihat
hilal awal Ramadhan, ia pun melaporkannya pada penguasa, lalu
biarlah penguasa yang memutuskan kapan mesti berhari raya atau berpuasa.
Ibnu Hajar Al Asqolani
rahimahullah membawakan dalam Bulughul Marom hadits no. 654,
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: – تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ
اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ
اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “
Manusia
sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian
beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim.
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه
وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ
فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ,
وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ
إِرْسَالَهُ
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi -
shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya, “
Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “
Iya.” “
Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi -
shallallahu ‘alaihi wa sallam- kembali bertanya. Ia pun menjawab, “
Iya.” Nabi -
shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memerintah, “
Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.”
Diriwayatkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, An Nasai, Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, namun
An Nasai lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut
mursal.
Beberapa faedah dari hadits di atas:
- Hadits ini merupakan dalil cukup adanya satu saksi dalam melihat
hilal Ramadhan, baik saksinya adalah laki-laki maupun perempuan. Dengan
syarat saksi tersebut adalah muslim. Hal ini berbeda dengan bulan selain
Ramadhan yang mesti dengan dua saksi. Inilah pendapat ‘Umar, ‘Ali, Ibnu
‘Umar, Ibnul Mubarok, pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan menjadi
pendapat yang dipilih Imam Syafi’i.
- Dianjurkan untuk melihat hilal pada malam ke-30 dari bulan Sya’ban.
- Siapa saja yang melihat hilal hendaklah ia
melaporkan hasil penglihatannya pada imam atau penguasa atau pada
pemerintah supaya penguasa tersebut yang mengumumkannya kepada khalayak
ramai (kaum muslimin). Sehingga pengumuman awal atau akhir Ramadhan, kita dapat ambil pelajaran bukanlah urusan satu ormas, namun jadi wewenang penguasa.
Bahkan mentaati penguasa punya maslahat besar sebagaimana disebut dalam hadits dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ
وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا
جَنَّةَ رَبِّكُمْ
“Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.”
(HR. Tirmidzi no. 616 dan Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, Syaikh Al Albani menshahihkan
hadits ini). Jika mentaati
penguasa termasuk takwa, maka berarti amalan ini adalah jalan menuju
surga karena takwa adalah syarat masuk surga.
- Jika ada yang melihat hilal Ramadhan lantas persaksiannya ditolak, apa yang mesti dilakukan?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hendaklah ia tetap berpuasa. Karena ada hadits dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا – ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِى
الثَّالِثَةِ – فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ
“Bulan adalah seperti ini, seperti ini, seperti ini -lalu beliau
menggenggam ibu jarinya pada ucapan yang ketiga-, berpuasalah karena
melihat hilal dan berhari rayalah karena melihat hilal. Jika kalian
tertutupi, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Muslim no. 1080).
Pendapat yang lainnya yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad bahwa orang seperti itu tidaklah wajib puasa.
Karena hilal yang teranggap jika telah masyhur, tidak cukup hanya
dilihat. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir karena
lebih mementingkan persatuan kaum muslimin, ditambah penguatan dari
sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari
raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan
Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697, dari Abu Hurairah). Lihat bahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hilal dalam tulisan:
Hilal Bukan Sekedar Fenomena di Langit.
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr
(masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan
orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat
hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi
kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak
memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya.
Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan
penyembelihan (Idul Adha), dan tidak
shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan
puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin
lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca
cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”. (
Majmu’ Al Fatawa, 25: 117)
—
Referensi:
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 15-17.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 2: 92.
@ Pertamina Cirebon, 23 Sya’ban 1434 H
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
Muslim.Or.Id
Komentar
Posting Komentar
Berkomentar yang baik ya.?